Soeharto (kiri) dan Marshall Green di Istana Merdeka, 22 Maret 1969. Foto: Dok. Perpusnas RI
"Tidak bisa lepas dari invisible hand," kata Kiki dalam diskusi Peringatan 50 Tahun Supersemar di Hotel Bidakara, Pancoran, Jakarta Selatan, Sabtu, 13 Februari 2016.
Menurut Kiki dalam doktrin Monroe tertulis bahwa dunia tidak akan sepi dari konflik. Namun konflik itu tidak terjadi di Amerika. "Amerika tidak ingin membuat stabilitas di Indonesia. Saya percaya, tangan-tangan itu bekerja mulai dari awal kemerdekaan, jatuhnya Bung Karno, jatuhnya Pak Harto, dan sebagainya," ujar dia.
Kiki meminta masyarakat menyadari bahwa ada potensi terjadinya konflik-konflik susulan yang lebih besar di kemudian hari. Karena itu, menurut dia, masyarakat harus membangun kewaspadaan nasional. "Agar tangan-tangan jahil itu tidak kembali mengerjai kita," tuturnya.
Kiki berharap kekuatan-kekuatan yang ada saat ini mau bersatu padu, salah satunya partai politik. Bila seluruh kekuatan besar itu bersatu, Kiki yakin cita-cita Indonesia untuk menjadi negara yang merdeka dan berdaulat akan tercapai. "Sayangnya, partai politik kita banyak yang 'sakit'," katanya.
Kiki mengimbau peristiwa Surat Perintah 11 Maret dijadikan pembelajaran bagi bangsa untuk menatap masa depan. "Bukan dijadikan even perdebatan yang tidak ada habisnya. Yang dilakukan Bung Karno dan Pak Harto adalah sebuah upaya penegakan Pancasila," ujar Kiki.
Menurut Kiki tindakan Soekarno mengeluarkan Supersemar adalah sikap yang arif. "Dan dengan tepat memilih siapa penerima surat perintah itu, yakni Soeharto. Soeharto pun tepat membubarkan Partai Komunis Indonesia yang saat itu menjadi center of gravity."
ANGELINA ANJAR SAWITRI
Sumber : TEMPO.CO
No comments:
Post a Comment